Selamat Datang ! Suatu kehormatan bagi saya atas kunjungan ini. saya sangat berharap kunjungan berikutnya.. :D
Sabtu, 14 November 2009 | | 0 komentar





Tujuh puluh sembilan tahun silam, semangat pemuda untuk memekikkan kesatuan Nusantara benar-benar menyala. Walau berada di bawah tekanan penjajah, mereka tetap mempersatukan diri dan mendeklarasikan sumpah setia kepada Nusantara. Puncaknya, pada 28 Oktober 1928 bergaunglah tekad kuat para pemuda yang terangkum dalam butir-butir Sumpah Pemuda: "Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Air Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia".
Sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II itu terlahir melalui rentetan sejarah yang panjang. Atas inisiatif Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia, diselenggarakanlah rapat akbar para pemuda yang dihadiri oleh wakil-wakil organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Hadir pula sebagai pengamat beberapa orang Pemuda Tionghoa: Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond.
Demi kesuksesan agenda penting tersebut, rapat dibagi menjadi tiga kelompok dan menempati tiga tempat yang berbeda. Rapat pertama digelar di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng pada Sabtu, 27 Oktober 1928. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan orasi Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua dilaksanakan pada Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Pembicara yang tampil pada saat itu adalah Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Keduanya berpendapat bahwa anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi selanjutnya, Ramelan mengemukakan pendapatnya bahwa gerakan kepanduan tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional. Sedangkan Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi, selain gerakan kepanduan itu sendiri.
Rumusan yang berupa ikrar setia tersebut menjadi saksi tekad bulat para pemuda Indonesia dalam mengintegrasikan tiga persepsi, yaitu: nusa, bangsa, dan bahasa.
Namun, ironisnya sumpah pemuda selama ini hanya menjadi sebuah seremoni tanpa arti dan rutinitas tanpa bekas. Artinya, tanggal 28 Oktober hanya dijadikan sebagai hari upacara dan sekadar romantisme sejarah yang dikenang belaka. Padahal di balik itu semua terdapat makna terdalam yang tidak kita tangkap, yaitu komitmen untuk berbakti dan berbuat yang terbaik bagi bangsa.
Salahsatu kelemahan utama bangsa ini adalah kegagalan menangkap makna dari apa pun yang telah dilakukan. Padahal kemampuan menangkap makna ini amatlah penting. Hanya dengan menemukan makna bangsa ini akan mampu menghadapi tantangan apa pun di dalam perjalanan hidupnya. Tanpa kemampuan menemukan makna segala tindakan hanya akan menjadi sesuatu yang teknis. Untuk itu, perlu dibangun kembali kesadaran baru dalam memaknai sumpah pemuda secara aktual.
Paling tidak tiga hal yang dapat kita petik dari sejarah sumpah pemuda tersebut, yaitu:. Pertama, meneguhkan kemerdekaan hakiki. Kontinuitas histori sebuah negara-bangsa sangat ditentukan oleh derajat "solidaritas psikologis" (psychological solidarity). Kalau ikatan psikologis antarmasyarakat di negeri ini tidak terbangun secara benar, maka ancaman disintegrasi tetap akan mengancam. Kapitalisme, pragmatisme, serta "penjajahan terselubung" dari dalam bangsa sendiri merupakan bukti belum merdekanya bangsa ini secara penuh dan hakiki.
Kedua, meneguhkan kembali semangat pemuda dalam mempersatukan bangsa. Sumpah pemuda yang telah dimuseumkan di Gedung Kramat 106 ini tidak akan bermakna manakala pemuda Indonesia bertindak statis atau jalan di tempat. Padahal salahsatu tujuan museum yang telah dibangun sejak 1974 itu adalah untuk memberikan teladan bagi pemuda bahwa keanekaragaman organisasi pemuda di nusantara kala itu tetap bisa disatukan dan dikukuhkan demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Terlebih mahasiswa, sebagai inti dari generasi muda ia mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, semangat muda yang membara, sifat kritis yang menyala, kematangan logika, dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde di masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Harapan besar layak ditumpukan kepada pemuda yang berjuluk mahasiswa. Di tangan mereka, masa depan bangsa ini dititipkan. Di tangan mereka, kunci keutuhan Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI) diserahkan. Dan, di pundak mereka, nasib bangsa ini disandarkan.
Namun, kesedihan menyeruak manakala melihat perilaku destruktif, anarkis, dan tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan semangat dan jiwa sumpah pemuda. Perkelahian pelajar, anarkisme mahasiswa ketika ingin mewujudkan suatu harapan, serta keterlibatan mereka dalam peredaran narkoba maupun kriminalitas lain mendesakkan keprihatinan kita akan nasib bangsa ini. Jika demikian, kepada siapa lagi masa depan bangsa ini akan dititipkan?
Tiba saatnya para pemuda bangkit dari tidur panjangnya, mengaktualisasikan kembali semangat dan jiwa sumpah pemuda demi masa depan bangsa. Pemuda tidak boleh "nglokro" (loyo, kehilangan semangat). Penyakit nglokro atau loyo harus dibuang jauh-jauh. Pemuda tidak boleh hanya ongkang-ongkang, tenang-tenang saja, dan berpangku tangan. Ketiadaan musuh yang bersenjatakan meriam (baca: penjajah, kolonial) seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya. Musuh kita saat ini bukan lagi bule-bule luar negeri, melainkan sifat negatif diri kita sendiri: nglokro atau loyo (malas bekerja, berkreasi dan berprestasi).
Ketiga, menjaga kemurnian bahasa persatuan. Banyak problem sosial yang sedang dihadapi bangsa ini terkait dengan bahasa. Banyaknya istilah populer yang diserap dari bahasa asing akan mengancam kemurnian bahasa Indonesia . Betapa sulitnya para tokoh sumpah pemuda menyatukan persepsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Maka sudak selayaknya pula, sebagai generasi bangsa, kita wajib menjaga bahasa tersebut dan tidak latah terbawa oleh "bahasa gaul" yang memudarkan kemurnian bahasa persatuan.
Mari kita aktualisasikan semangat dan jiwa sumpah pemuda untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang unggul dan maju. Salam Sumpah Pemuda! Selengkapnya...

| | 0 komentar




Selengkapnya...

PROKLAMSI INDONESIA

Kamis, 05 November 2009 | | 0 komentar

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Indonesian flag raised 17 August 1945.jpg

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Indonesia flag raising witnesses 17 August 1945.jpg

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Selengkapnya...

SPONSOR:

| | 0 komentar


Selengkapnya...

my slide show